Jumat, 26 Desember 2014

Gejolak Minyak Akhir Tahun, Rusia Dihimpit Arab dan Amerika?

 
SGB LAMPUNG - Ekonomi Rusia tak henti-hentinya menghadapi pukulan. Harga minyak yang merosot dan tak berdayanya nilai tukar mata uang rubel, makin meminggirkan Rusia ke jurang resesi.

Ironisnya, keterpurukan Rusia itu berbarengan dengan pemulihan ekonomi Amerika Serikat (AS). Dunia bisnis dan konsumen AS diselimuti sentimen positif setelah tren penurunan harga minyak dunia di tengah pernyataan Arab Saudi yang tak mau memangkas produksi minyak.

Melimpahnya pasokan minyak yang berakibat pada tergelincirnya harga, juga mampu menggairahkan ekonomi di AS. Akibatnya, dana di beberapa negara "mudik" ke negeri Paman Sam itu.

Pada tahun depan, Rusia setidaknya terancam kehilangan pendapatan sebesar US$80 miliar (Rp960 triliun, kurs Rp12.000/US$), dari ekspor minyak Bumi. Maklum, harga minyak mentah jenis Brent cenderung berkisar di bawah US$60 per barel.

Tren penurunan harga minyak tersebut tak dapat dibendung, menyusul keputusan Arab Saudi untuk tidak memangkas pasokan. Bukan itu saja, keputusan Arab itu diikuti oleh negara-negara eksportir minyak (Organization Petroleum Exporting Countries/OPEC).

Bahkan, Arab seolah tak ambil pusing saat negara-negara non-OPEC telah mengurangi produksi. "Jika mereka ingin melakukannya (pangkas produksi), tentu Arab Saudi tidak akan memotong (produksi)," ujar Ali al-Naimi, Menteri Perminyakan Arab Saudi, seperti dikutip dari laman Reuters, awal pekan ini.

Negara-negara di jazirah Arab, tampaknya sejalan dengan keputusan Kerajaan. Menteri Perminyakan UEA, Suhail Bin Mohammed al-Mazroui dan Menteri Perminyakan Kuwait, Ali al-Omair, kurang lebih memiliki pendapat senada.

Dan, nyatanya, target produksi OPEC sebanyak 30 juta barel per hari (bph) tidak berubah. OPEC tak mau mengintervensi, dan membiarkan pasar untuk mencari titik keseimbangan sendiri.

Di sisi lain, pasokan minyak AS justru meningkat. Data American Petroleum Institute yang dirilis Selasa menunjukkan, stok minyak mentah AS naik 5,4 juta barel. 

Turunnya harga minyak dunia tersebut cukup "dinikmati" oleh AS. Nyatanya, AS merilis laporan peningkatan produk domestik bruto (PDB) yang memicu percepatan pertumbuhan ekonomi sebesar lima persen. 

Sementara itu, indeks dolar juga sempat hampir menyentuh level tertinggi sejak April 2006. Dolar terus menunjukkan kedigdayaannya terhadap mata uang asing lainnya. Penguatan dolar AS tersebut, tentu saja membuat harga komoditas menjadi mahal bagi pemegang mata uang non dolar. 

Tentu, dengan harga minyak yang rendah tersebut, ekonomi Rusia kalang kabut. Sebab, menurut data dari Energy Information Administration (EIA) AS, sektor minyak dan gas menyumbang 68 persen dari US$527 miliar total bruto ekspor Rusia pada 2013. Kala itu, minyak dunia dipatok pada kisaran US$108 per barel.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar