Kamis, 30 Oktober 2014

Siklus Keuangan Indonesia Berpotensi Alami Perlambatan


SGB LAMPUNG - Selama ini kegiatan siklus bisnis lebih sering diamati dalam kebijakan makroekonomi dan moneter. Luputnya bank sentral di dunia dalam mengawasi dinamika siklus keuangan dituding menjadi pemicu krisis keuangan global tahun 2008.
Dalam hal ini, kebijakan Bank Sentral untuk menurunkan suku bunga sejalan dengan pencapaian inflasi yang rendah justu dapat memicu risk taking, atau perilaku mengambil risiko berlebih pada sektor yang spekulatif dengan motivasi mencari high yield atau imbal hasil yang tinggi.
Saat ini, siklus keuangan Indonesia (SKI) memberikan indikasi mulai memasuki fase perlambatan. Hasil estimasi Bank Indonesia menunjukkan terjadi perlambatan pada ekspansi kegiatan pembiayaan sebagaimana tampak dari arah siklus keuangan yang cenderung menurun. Perlambatan SKI tersebut disebabkan oleh menurunnya laju pertumbuhan kredit sebagai salah satu indikator utama pembiayaan perekonomian domestik.
Perlambatan siklus keuangan yang terjadi bersamaan dengan ketidakpastian terhadap prospek pertumbuhan global ke depan yang menimbulkan risiko terhadap pertumbuhan ekonomi ke depan. Perbankan domestik dipastikan memerlukan tambahan modal atau likuiditas dengan LDR yang telah mencapai 89,7% per September 2014.
Sementara pembiayaan dari Utang Luar Negeri (ULN) yang dalam dua tahun terakhir naik tinggi mulai mengalami perlambatan. Dapat dicatat bahwa ULN Indonesia pada Agustus 2014 tumbuh sebesar 11,2% (yoy) mencapai $290,37 miliar. Kenaikan ULN tersebut terutama terjadi di sektor swasta yang selama 2 tahun terakhir melonjak dari sekitar $ 126,25miliar pada tahun 2012 menjadi $ 156,16 miliar pada Agustus 2014 sehingga pangsa ULN sektor swasta telah mencapai 54% dari total ULN Indonesia.
Dalam rangka memperkuat kehati-hatian di sektor korporasi dan memperdalam pasar keuangan valas, Bank Indonesia akan segera menyempurnakan aturan ULN. Aturan tersebut ditujukan untuk memperkuat ketahanan korporasi yang memiliki ULN terutama dengan memitigasi risiko currency mismatch, liquidity mismatch, overleverage.
Selain itu, adanya kewajiban melakukan “hedging”  mulai saat ini diharapkan dapat meningkatkan penggunaan transaksi lindung nilai sehingga pasar valuta asing menjadi lebih dalam dan tekanan terhadap nilai tukar Rupiah dapat diminimalkan. Dengan demikian, ketahanan korporasi dan stabilitas sistem keuangan menjadi lebih baik dalam menghadapi risiko yang mungkin ditimbulkan dari perlambatan siklus keuangan dan dinamika perekonomian global.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar