SGB LAMPUNG - Menanggapi tren pelemahan rupiah yang cenderung menguat bahkan hingga menyentuh Rp 14.000/Dollar AS kemarin, Gubernur Bank Indonesia Agus D.W. Martowardojo akhirnya angkat bicara. Tekanan terhadap BI untuk segera melakukan aksi yang sekiranya dapat menopang rally rupiah sangat ditunggu-tunggu pelaku pasar, namun Gubernur BI ini mengatakan bahwa Indonesia tidak akan mengikuti cara bank sentral Tiongkok yang mendevaluasi mata uangnya, karena menurut Agus hal tersebut bukanlah salah satu cara terbaik bagi Indonesia.
Harus dipahami bahwa tren pelemahan mata uang di negara lain, memang belum tentu juga berhasil di Indonesia. Hal ini mengingat bahwa Indonesia juga masih tergantung pada ekspor dan impor primer. Kebijakan devaluasi dinilai Agus baru bisa diterapkan pada negara-negara yang berbasis ekonomi pengolahan produksi atau negara penghasil sumber daya alam beserta pengolahan turunannya. Sedangkan Indonesia saat ini masih memiliki rasio 50 berbanding 50 dalam hal produksi. Bahkan untuk kebutuhan primer, Indonesia masih bergantung pada sektor ekspor dan impor, karena sumber daya alam masih berupa mentahan yang diekspor.
Untuk diingat kembali, sebelumnya, Bank sentral Tiongkok (PBoC) mendevaluasi mata uang yuan sebesar hampir dua persen terhadap dolar AS, karena pihak berwenang mengatakan mereka berusaha untuk mendorong reformasi pasar. Langkah dramatis itu mengejutkan pasar dan menyebabkan gelombang penjualan di bursa saham AS dan Eropa, serta di banyak bursa komoditas.
Sementara itu, Bank sentral Vietnam juga telah memutuskan memperlebar batas perdagangan untuk transaksi antar bank mata uang Vietnam dong terhadap dolar AS dari dua persen menjadi tiga persen. State Bank of Vietnam (SBV), bank sentral negara itu, juga mengumumkan menaikkan rata-rata nilai tukar antar bank sebesar satu persen, dari 21.673 dong per dolar AS menjadi 21.890 dong per dolar.
Meski nilai tukar rupiah sudah cukup terpuruk menjelang sisa tahun 2015 ini, Gubernur BI tersebut tetap menyampaikan bahwa kondisi perekonomian nasional saat ini masih lebih baik dibandingkan dengan ketika terjadi krisis keuangan pada 1998 dan 2008. Berbeda dengan tahun itu, angka inflasi sekarang masih terkendali. Agus mengatakan bahwa cadangan devisa Tanah Air saat ini masih jauh lebih tinggi, volatilitas nilai tukar lebih terkendali, demikian juga dengan inflasi yang kala itu bisa melonjak hingga 60 persen, sekarang masih mengarah ke empat persen, di bawah 4,5 persen. Artinya, secara umum kondisi fundamental kita lebih baik.
BI sendiri tetap akan terus berada di pasar untuk menjaga stabilitas rupiah. Mengenai kemungkinan BI menjalankan bilateral currency swap agreement (BCSA) dengan bank sentral negara lain dalam menahan keperkasaan dollar, Agus menyampaikan bahwa opsi itu mungkin diambil. Dengan BCSA ini, perdagangan dengan negara mitra tidak perlu menggunakan dollar AS, sehingga Indonesia dan negara kemitraan lainnya bisa berdagang dengan antara mata uang masing-masing negara. Sejauh ini Indonesia sedang aktif mendekati Tiongkok, Korea, dan Jepang dalam menjajaki kemungkinan BCSA terkait perdagangan.
http://vibiznews.com/2015/08/25/rupiah-melemah-bi-pertimbangkan-opsi-bcsa-dengan-negara-tertentu/